/
0 Comments


Seiring menjalani hidup, kita pasti akan menghadapi situasi yang membangkitkan emosi: frustasi, marah, sedih, takut, malu, bahagia, juga merasakan cinta.

Karena sebagai manusia, kita terlahir memiliki fungsi merasakan emosi. Hormon di dalam tubuh kita memainkan peranan penting untuk mengontrol mood. Belum lagi faktor eksternal seperti makanan yang membuat kita rentan terbawa emosi. Contohnya, saat lapar, pasokan glukosa yang mencapai otak berkurang, sehingga kita menjadi mudah marah. Kadar serotonin yang dihasilkan triptofan - yang juga dipasok oleh asupan makanan - menurun, maka kita jadi uring-uringan. Tubuh kita disiapkan untuk menjadi sangat adaptif secara emosi!

Hanya saja, berbeda dari binatang yang berprilaku mengikuti nafsu dan insting, manusia juga dibekali akal sehat. Kemampuan menjadi rasional inilah yang menjaga manusia terhindar dari situasi berbahaya akibat usaha berlebih mengikuti emosi.

Control your emotion
Dalam dunia bisnis, kita mengenal istilah “Don’t take it personal, it’s only business”. Ini sebuah pernyataan yang muncul karena seringkali manusia terlalu banyak melibatan emosi untuk membuat keputusan bisnis. Karena faktanya, logika dan rasio lebih banyak diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang tepat, terutama untuk hal yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Dan kasus paling sering yang mencelakakan justru bukan saat kita marah lalu membuat keputusan emosional. Tapi justu keputusan bisnis yang salah karena didasari rasa sayang yang bukan pada tempatnya! Misalnya, saat ada teman dekat atau kerabat yang kebetulan bisnisnya sedang mengalami masa sulit, lalu mereka mengajukan proposal kerjasama yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi bisnis Anda.

Apa yang akan Anda lakukan saat itu?

Apakah Anda harus menerima konsep kerjasama itu karena merasa bersalah jika menolaknya? Apalagi Anda tahu kondisi sulit yang sedang dialaminya. Apakah Anda yakin bekerja sama dengannya benar-benar akan membantunya keluar dari kesulitan?

Di saat seperti inilah kemampuan bisnis Anda diuji. Anda harus bisa secara bijak memisahkan peran Anda sebagai pebisnis dan sebagai sahabatnya. Lebih hebat lagi, jika Anda mampu memanfaatkan “rasa sayang” itu menjadi sebuah keputusan rasional yang menguntungkan. Bagaimana bisa?

Anda bisa berlaku sebagai teman atau kerabat yang baik, sekaligus sebagai pebisnis yang baik, dengan memberinya kesempatan yang wajar untuk mempresentasikan proposal proyek bisnisnya. Jika proposalnya masih dirasa kurang, Anda juga bisa memberinya masukan dan pandangan untuk perbaikan. Anda menjadi teman yang baik dengan memberinya nasihat, sekaligus menjadi pebisnis yang baik dengan menjaga standar kualitas proyek di bisnis Anda. Jika ternyata ia masih memaksakan proposal yang hanya menguntungkan pihaknya, tentu Anda berhak menolaknya.

Apakah ini berarti untuk menjadi pebisnis yang sukses Anda harus berhati dingin? Tidak juga.

Sebab jika Anda menerima kerjasama dengannya hanya karena kasihan, Anda hanya akan membantunya untuk jangka waktu yang sangat singkat. Justru, Anda akan membuatnya lebih sulit bangkit. Bisnis Anda berantakan, bisnisnya pun kacau karena berdiri di atas konsep yang tidak menarik. Jika ia tidak lagi punya kenalan, apakah akan ada pihak lain yang mau bekerja sama dengannya berdasarkan konsep bisnis yang salah? Jika bisnis Anda hancur karenanya, bukankah ia juga ikut hancur karena terlalu bergantung pada kedekatan emosional dengan Anda?

Bantulah ia membangun bisnis yang punya kemampuan kompetisi dan berkesinambungan. Dengan begitu, Anda menjadi teman yang baik, sekaligus pebisnis yang baik. Anda tidak perlu kehilangan sisi manusiawi yang memiliki emosi, tapi juga mampu mendasarkan keputusan pada logika bisnis yang sehat.


You may also like

Seiring menjalani hidup, kita pasti akan menghadapi situasi yang membangkitkan emosi: frustasi, marah, sedih, takut, malu, bahagia, ju...

Tidak ada komentar: